Bersua Windu

Debu dari jalan beterbangan, lalu sedikit demi sedikit langit menjadi gelap, angin menyapu tanah mengangkat debu lalu kerak hujanpun memecah. Rumah dengan air mancur presisi di kotak tengah taman, seakan tak berubah banyak. Jendela masih banyak dengan genting hijau tua selaras dengan rumput bergelombang yang selalu terurus. Ilona yang hampir dua puluh menit menunggu dibukakan pintu akhirnya dipersilahkan masuk. Dia dan Ny. Hadisasoko duduk di ruang tamu yang lenggang. Masing-masing tak mampu memulai pembicaraan dan berhadapan dalam diam hitungan hampir 3 menit.

Pikiran berkecamuk di kepala kedua wanita beda generasi tersebut. Hanya detak jam dinding yang mengisi kesunyian yang meresahkan. Mata Ilona tak mampu menatap wajah orang tua mantan tunangannya,, Wicak. “Kamu tidak bekerja hari ini?” Sejak kapan tiba di Indonesia?” Ny. Hadisasoko merespon dengan pertanyaan yang tertahan sedari tadi. “Ehmm, saya ijin bu. Sudah dua bulan dua minggu saya disini.” Ny. Hadisasoko hanya terdiam dalam kesunyian yang kembali menyergap, agak lama kali ini. “Kamu mau minum apa?” tanyanya sambil berdiri memanggil pembantunya. “Air putih saja bu” jawab Ilona kaku dan berusaha mengubah posisi duduknya. Ilona merasa aneh. Selama ini ia tidak pernah duduk di ruang tamu yang mengintimidasi ini. Sofa yang besar dengan ukiran-ukiran naga dengan guci-guci bernilai puluhan juta setinggi tubuh manusia, rata-rata standar tinggi warga Asia.Ilona tidak pernah suka ruang tamu ini. Ia selalu lewat pintu belakang dan langsung ke ruang keluarga. Disana ada sofa yang nyaman dan akses langsung ke meja makan.  Berada di ruang tamu ini membuat Ilona merasa terasing. Apakah ia sudah dianggap tamu? Masihkah ia bagian dari keluarga Hadisasoko? Matanya berkaca-kaca terserang tusukan-tusukan kesedihan. Ny. Hadi, begitu beliau akrab disapa, kembali dengan seorang pembantu membawakan dua gelas air. Ilona hanya tersenyum kecut sebagai basa-basi ungkapan terima kasih, entah kepada Ny, Hadi atau pembantu baru yang masih asing dalam pandangannya,

Wajah Ny. Hadi kaku dan tegang. Seolah-olah hendak menumpahkan segala yang ingin disampaikan. “Mengapa kamu ke rumah ini, setelah belasan tahun kamu tak ada kabar sama sekali? Kamu mau bertemu dengannya setelah kamu campakkan dia begitu saja!” Ilona tercekat. Menyakiti? “Bu, ada yang hendak saya jelaskan. Tolong kasih saya kesempatan.”

“Silahkan jelaskan di depan nisan Wicak. Bi Ani tolong bawa kertas dan pena.” Ny,Hadi agak kesal. “Tak perlu bu, saya tahu alamat kuburan Wicak, hampir dua bulan ini saya setiap Jumat dan Minggu kesana.” jawabku lebih tenang. “ Baiklah… kamu boleh angkat kaki sekarang dari rumah ini.” Ilona memandangi wajah Ny.Hadi dengan terkejut. Ia tahu, sejak awal ia bukan tipikal menantu yang diinginkan keluarga Hadisasoko. Namun Wicak selalu mendukungnya hingga Ilona merasa terlindungi. Ilona tiba-tiba merasa limbung, memori dua belas tahun silam berputar saat ini.

Ilona mengayuh santai sepeda kumbang kesayangannya menyusuri jalan-jalan kecil kota Leiden menuju Centromil. Sepeda ini cukup istimewa. Di saat teman-temannya berburu sepeda di pasar gelap, Cuma dirinya seorang yang rela menyisihkan dua lembar 50 euro  untuk menebus sepeda hitam mengkilat dari salah satu toko bekas yang terkenal di antara toko-toko lainnya di Centromil. Sepedanya enteng dikayuh  sehingga cukup meyakinkannya terhindar dari sindrom betis gede yang sangat ditakuti kaum hawa, khususnya pengayuh sepeda setahun penuh, Siang ini, ia dan Wicak janjian bertemu di kafe langganan mereka. Setelah hampir sejam, Ilona mulai was-was. Tak ada kabar bahkan tanda-tanda kedatangan Wicak. Pukul 8 malam waktu Leiden, sambil mengunyah roti isi bacon, Ilona menatap nanar isi email dari Wicak. Ternyata dia masih di Utrecht dari tadi pagi, dan baru bisa mengabari. Huffft.Nggak biasanya Wicak seteledor ini. Mereka janjian bertemu tiga hari lagi di apartemen sederhananya Ilona. Ini berarti kabar gembira yang ingin segera tersampaikan ke Wicak jadi tertunda.

Pagi ini wajah Wicak sangat pucat, hampir senada dengan punggung kedua tangannya. Sembari meremas mesra kedua tangan tunangannya,.. Ilona mengaku dirinya hamil jalan empat minggu. Wicak kaget bercampur panik. Bukan dominasi euphoria kegembiraan yang menyelimuti wajah pria Sunda Padang ini. Ilona mencoba tenang, menyusuri alasan di balik kepanikan Wicak. Mungkin saja Wicak agak capek dengan kuliah S3-nya yang baru saja dimulai tahun ini, sedangkan Ilona tampak santai dengan pergulatannya bersama suka duka tesis yang hampir 9 bulan belum maju dari bab tiga, Ilona sudah hampir lima tahun bermukim di Leiden. Ia melanjutkan kuliah magister hukumnya setelah lulus S1 juga di Leiden. Dia mengenal Wicak saat kepulangannya ke Indonesia di tahun terakhir dia meraih gelar sarjana. Secara tidak kebetulan mereka bertemu di Kafe Batavia Kota tua, selama dua hari berturut-turut, sampai menjalin kecocokan dan memutuskan langsung bertunangan 7 bulan setelah perkenalan itu.

Usia Ilona dan Wicak terpaut 8 tahun. Jelas Wicak delapan tahun lebih tua darinya. Wicak sangat mengagumi Ilona,meskipun wajahnya tidak cantik-cantik amat. Bentukkan yang jauh dari harapan menjadi bunga kampus juga. Sosok Wicak yang lembut dan ngemong menjadi hal yang menghanyutkan Ilona dalam cinta yang terus tumbuh, hingga akhirnya Wicak meninggal dunia. Pertemuan terakhir pagi itu, sangat menyesakkan. Setelah Wicak mampu menguasai suasana, dan tawa mereka pecah diiringi sekelumit harapan bagaimana pola asuh terbaik bagi anak mereka nantinya. Mereka lupa atau memang sengaja menyingkirkan berita ini kepada ayah Ilona dan orang tua Wicak. Atau mungkin mereka anggap anak ini akan sah dalam wadah pernikahan yang nantinya dapat digelar tujuh bulan ke depan. Ya, itu memang janji Wicak. Penghasilan Wicak sebagai akuntan perusahaan multinasional yang akhirnya memberikannya bonus beasiswa doktoral sudah tergaransi. Tabungan yang terkumpul sudah lebih dari cukup untuk menggelar pesta pernikahan di Indonesia, dan hidup dengan keluarga kecil di negeri kincir angin untuk kira-kira empat tahun kedepannya.

Aku terduduk, hening di samping lelaki, calon ayah dari bayi yang kukandung. Saat itu usia kehamilanku sudah hampir memasuki minggu 30. Tinggal 9 hari lagi, pernikahanku dan Wicak digelar,berarti maksimal empat hari lagi kami berdua sudah harus di Indonesia. Hal ini merupakan bentuk toleransi kesepakatan final kami, mengingat hampir tiga kali ini Wicak diopname dengan jenis penyakit yang sama, tipus dua kali berturut-turut. Kali ketiga ini, sudah 29 jam, Wicak tak sadarkan diri setelah operasi pengangkatan tumor otaknya. Wicak baru mengabariku tentang penyakit jahanam yang dideritanya selama setahun ini,  hanya seminggu sebelum aku menungguinya dalam keheningan ini. Kamis pagi, hari ketiga ini Wicak belum lagi sadar, Hanya lima jam aku pergi ke kedutaan Indonesia di Belanda untuk menyelesaikan tahapan akhir administrasi,lalu saat aku baru saja kembali, mendapati ruang inap Wicak hanya dipan kosong dengan ornamen medis modern tahun 90-an. Tanpa ada kejelasan dan jawaban bahwa siapa yang berwenang memindahkan tunanganku ke ruangan yang aku sendiri tak boleh diberitahu, mengapa dan kapan hal itu berlangsung.

Aku hanya ingin masuk ke dalam lubang hitam, berharap semesta menelanku dan calon bayi kami agar bisa bertemu ibunda juga di rumah Bapa, saat hampir setengah hari setelah pemakaman Wicak di Indonesia, dan aku baru mengetahui kabar itu bahkan bukan dari ayahku, tapi dari bibi Yasinta, adik satu-satunya ayah. Empat bulan setelah persalinanku, bahkan sangat minim aku memberi asupan asi eksklusif bagi bayiku, Moren Yosua, lagi-lagi aku terpisahkan. Kali ini di luar dugaan, bagaimana ayah meracuni pikiran Bibi Yasinta. Entah bagaimana malam itu aku merasa cepat sekali mengantuk, dan larut dalam tidur panjang. Siang itu, aku hanya sendiri dalam kamar apartemen. Box bayi tanpa Yosua, beberapa peralatan ayah dan bibi juga raib. Hanya sedikit barang Yosua yang terbawa mereka ke Jakarta. Aku memaki diriku. Mengapa sama sekali tak ada firasat bahwa aku akan terpisahkan dengan anakku.

Sekarang, setelah empat belas tahun sepeninggal Yosua, tekadku bulat untuk pulang ke Indonesia, menemuinya sekaligus merawat ayah yang stroke. Kesulitan fisik ini juga hampir menyirnakan informasi-informasi yang mampu diberikan ayah tentang keberadaan Yosua. Menurutnya, setelah sampai di Jakarta , bibi Yasinta mengasuh bayi mungil ini tiga bulan ke depan dan memutuskan menyerahkannya ke panti asuhan di daerah Cipete. Berhari-hari aku mengumpulkan informasi tentang Yosua yang diasuh keluarga ekspat saat usianya 6 tahun. Aku diberi alamat yang sia-sia. Empat rumah berturut-turut, tanpa hasil. Keluarga Tucker yang mengadopsi Yosua ternyata hidup nomaden, setelah Pak Tucker sebagai tulang punggung keluarga meninggal dunia dua tahun lalu.

Baik itu pertanda atau tidak, malam ini aku merasa nyaman saat aku duduk lagi di taman Suropati. Perasaan teraman dan terhangat kurasakan sejak kepergian Wicak dan kehilangan Yosua. Seorang pria remaja tersenyum ramah ke arahku sambil mengelap biolanya. “Anda sedari tadi terlihat sendiri bu. Sedang menunggu orang?” tanyanya ramah. “enggak, hanya bernostalgia dengan tempat ini, dek.” Kami hanya bercakap sebentar, lalu pemuda ini berpamitan pulang. Sabtu berikutnya, kami bertemu lagi, ngobrol panjang lebar, tentang pengalamanku di negeri kincir angin. Dia sangat antusias. Windu, namanya. Dia pemuda tangguh yang bersekolah sambil ngamen di taman Suropati tiap Jumat sampai Minggu malam. Kami bersahabat, nyambung satu sama lain. Bahkan saat pemakaman ayah, Windu juga sangat berperan dalam tim musik dan koor di gereja . Seringkali Windu curhat tentang gadis yang ditaksirnya. Bahkan ada dua orang yang menarik perhatiaannya. Kali keenam pertemuan kami, tiba-tiba Windu menyebut bahwa ibunya bukan asli Indonesia, namun keturunan Tionghoa campuran Rusia yang menikah dengan pria Kanada, bernama Larry Tucker. Aku terkesiap dan bersikeras ingin menemui ibunya hari itu juga, Puji Tuhan, banyak hal terungkap. Windu adalah anakku Yosua yang diadopsi oleh Ny. Tucker dan almarhum suaminya. Dia diberi nama Windu oleh suster dip anti asuhan saat itu, waktu menerima Yosua dari bibi Yasinta, yang mengaku belum menamainya. Windu, karena bayi Yosua saat itu merupakan anak panti yang kedelapan puluh. Ya, dia putraku yang sempat dihilangkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.

The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.

Scroll to top