Selaras

Lapangan Dadaban, 10 Juli 2002

Sudah tiga hari ini, Laras ditawarin bu Lurah untuk berjualan mainan disini 
tepat di waktu orang-orang mulai ngabuburit. Di sisi kanan kirinya banyak deretan penjual makanan 
adapula asinan, manisan dan beragam dodol. Datang pula rombongan topeng monyet. 
Si monyet diikat ke bonong; sejenis alat musik yang dipukul lalu tubuhnya dipakaikan kaos Persib. 
Namun masih sejam lagi barulah pertunjukkan dimulai.  Daripada bengong, Laras merapikan barang dagangan 
yang masuk kategori mainan sangat murah. Mainan-mainan yang dikhususkan bagi anak-anak 
yang tak mampu dibelikan mainan mahal. Ada mobil-mobilan, kereta-keretaan, alat masak plastik,
topeng warna-warni topeng Unyil, topeng pak Ogah yang cemberut dan beberapa tiruan tokoh kesukaan anak-anak.
Hari makin senja, rombongan topeng monyet sudah memulai pertunjukkannya, menabuh bonong
yang menciptakan irama musik. Si monyet bersemangat, berkicau dan berjalan membawa payung
sambil menarik benda-benda yang berbunyi. Kelakuannya begitu saja, tak ada yang aneh. 
Persis di samping Laras, ada mang Acang sedang sibuk menggoreng cimol.
Sepasang suami isteri yang baru saja mengantri, menatap Laras ramah.
Laras hanya menatap datar, teringat akan paman bibinya yang membesarkannya,
namun tak berkabar tujuh bulan ini entah kemana. 


*Mei, 1991. Jakarta [sebelas tahun lalu]

Rina, ibu muda cantik berperawakan langsing sedang cemas.
Wanita yang kesehariannya sangat aktif tampak sedang gelisah. “ Sabar sedikit kenapa Rin?
Sebentar juga pasti Ranum pulang.” Bujuk Rima, kakak kembarnya yang sengaja mampir ke rumahnya.
Rina hanya mengangguk lemas, lalu menghempas tubuhnya ke sofa. Teh yang dibikinkan Rima juga sudah
tak panas lagi. “Dari semalam, Ranum nggak ngabari kak…”keluhnya.

Menginjak kuliah Ranum memang liberal. Seenak hati masuk kuliahnya di fakultas kedokteran,
tapi tiap hari malah nongkrongin tempat-tempat les piano yang akhirnya ketahuan sang ayah.
Ranum dimarahi dan diancam harus segera lulus atau diusir dan dikirim ke Makassar tampat tante bungsunya.
Akhirnya sembilan tahun masa kuliahnya dituntaskan. Ranum lulus dan sekarang ditempatkan
di kampung pinggiran Jakarta timur. Pada awalnya, tempatnya praktek pun sempat ditentang ayahnya
yang membuat Ranum dua kali kabur dari rumah, dan setelah berdamai pun,
Ranum masih agak kesal dengan tabiat ayahnya. Sekarang pun hubungan asmaranya ditentang ayah,
membuat Ranum geram. 

“Rina, mengapa kamu berhasil membawa anak durhaka ini pulang ke rumah? Batin ibunda, Rina terluka. Dipandanginya Ranum yang hampir meledak. Rima segera pamit dengan dahi berkerut.
Suasana tegang dimulai, Bahgawat Santi yang sedang bermain piano mematung lalu memutuskan masuk
ke kamarnya. “Ayah keterlaluan!
Belum puas ayah selalu menekan saya?” tanya Ranum meninggi. Sang ayah meraih pisau buah dari piringnya
lalu bersegera menghunuskan, mengenai lengan kiri Ranum. Tak ada yang melerai, ayah masih mematung gemetar.
Ranum hanya rebah di samping meja makan sambal meringis. Rina menghubungi ambulans sambil meraung.
Tak lama adu mulut dimulai lagi. Untung ambulans segera tiba. Penanganan cedera tangan Ranum sudah
selesai namun tetap diputuskan kalau dia harus opname. Hasil laboratorium menunjukkan kalau Ranum
sedang mengandung 30 minggu. Malam ini Ranum sedang kontraksi hebat,
ibunya shock namun tetap berusaha tenang didepan putri sulungnya.
Tubuh Ranum yang mungil dan stagen yang senantiasa dipakai sangat baik menutupi fisiknya
yang tengah hamil. “Ini anakmu dengan Firman, Num?” tanya Rina lembut.
Ranum tersenyum.
Tepat pukul satu dini hari, 27 Mei 1991, seorang bayi perempuan mungil tampil ke dunia lewat operasi Secar.
Rina sang nenek kelihatan sangat gembira dan memakaikan gelang cantik sementara
sang ibu sedang masih di bawah
pengaruh obat bius. Keesokan harinya di jam dini hari yang sama, Rina dirawat di ICU karena serangan jantung.
Cucunya yang baru saja lahir dibawa keluar dari rumah sakit oleh Ranum dan Firman tanpa sepengetahuannya.  

Susan-BW-Baru

Pukul 7 pagi, Ranum, Firman dan bayi bernama Windu Selaras tiba di kampung Lawas. Mereka menempati rumah dinas
Ranum yang sangat mungil namun berjendela banyak. Mantri Durja yang melihat kedatangan mereka tidak berkata
apa-apa bahkan senyum pun tidak tersungging. Mantri Durja tidak menyukai Ranum yang sedang aktif menentang
prostitusi anak-anak bawah umur ke bagian Hak Asasi Manusia pusat. Ironisnya, kepala sekolah dan para guru
sekolah dasar satu-satunya di kampung itu terlibat dan mendukung kegiatan busuk tersebut.
Kebangkrutan pabrik rokok setahun lalu menyebabkan para karyawan yang 95% warga kampung Lawas
tidak punya pekerjaan lagi. Gadis-gadis remaja bahkan ada yang  berusia di bawah 14 tahun dan ibu-ibu
rumah tangga berprofesi sebagai pelacur dan sebagian menjadi penari kotong. “Ini biadab, man.
Bahkan pamong desa mendapat bagian dari maksiat ini! Ini harus dihentikan. Tolong bikin 5 rangkap laporan ini
ya sayang. Hati-hati di jalan ya.” Ranum dan Firman berpelukan saat Firman hendak ke Jakarta pagi itu. 

Pantas saja dokter-dokter yang sebelumnya bertugas di puskesmas Lawas ini dipecat. Ranum adalah dokter ke tiga
puluh tiga yang juga hampir dipecat akibat tidak setuju dengan anak-anak belasan tahun yang terus-terusan
disuntik antibiotik dan kegiatan aborsi bagi anak-anak SD. Saat ini ada enam warga kampung yang akhirnya
mendukung Ranum untuk membuat beberapa laporan ke komnas HAM guna mencari simpati. Firman yang baru kuliah
tiga semester pun gencar mendukung Ranum. Malam itu, setelah hamper delapan bulan terlewati, Rina mendatangi
Ranum. Wanita itu tampak makin tua dan rapuh. Dia tak berhasil Nilam dan Firman beserta Selaras untuk pulang
beberapa hari ke Jakarta. Saat itu hanya Ranum beserta Selaras di rumah. Firman sedang pulang ke Bogor
menjenguk ibunya yang sakit. Rina sempat menyisipkan amplop berisi uang yang besar jumlahnya ke dalam tumpukan
pakaian Selaras di kotak pakaiannya.  Naasnya, beberapa jam setelah Rina beranjak pulang, empat orang pemuda
kekar mendobrak pintu rumah dinas Ranum. Mereka menyiramkan minyak tanah di seluruh sudut rumah Ranum. Untung
bu RT sempat menyelamatkan Selaras yang menangis sangat kencang. Malangnya lagi, nyawa Ranum tak terselamatkan
akibat rongrongan api di setiap lapisan tubuhnya. Jenasah Ranum dirawat semalam di Rumah Sakit Pusat.
Ayah dan ibunda Ranum menatap jasad putri mereka yang sudah tak cantik lagi. Cucu sulung mereka pun tak ada
kabar lagi bersama Firman. 



Lapangan Dadaban, Juli 2002

Setelah pasangan yang membeli cimol mang Acang bercakap-cakap sebentar dengan Laras, akhirnya mereka bertiga
sumringah, dan Laras mengemasi dagangannya.



27 Mei 2015, Rumah Sakit Gatot Subroto

“Dokter Selaras, orang tua anda menunggu di kantin staff untuk makan malam bersama. Disana juga telah hadir
beberapa dokter bedah.” Ujar perawat dari balik pintu kantor Laras. Laras tersenyum bahagia dengan genangan air
mata yang tertahan. 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.

The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.

Scroll to top